Minggu, 03 April 2011

Celempung

Waditra tradisional ini dibuat dari ruas bambu dengan sembilunya sebagai senar. Kegunaan waditra ini adalah sebagai pengatur irama lagu dalam orkestrasi yang dinamakan Celempungan.
Adapun bahan yang digunakan berupa seruas bambu (misalnya awi gombong) ukuran diamater lebih kurang 20 cm, panjang lebih kurang 40 cm. Yang dijadikan muka, ditatah diratakan (maksudnya untuk membuang sembilu yang tidak dipergunakan sebagai senar). Bagian tengahnya dilubangi agar suara senar menggema dalam tabung. Adapun kedua senar tersebut diatur nada-nadanya, yaitu barang-galimber atau nada-nada lainnya yang dikehendaki si pembuat. Kedua senar itu dihubungkan dengan bambu berbentuk persegi panjang (5×3 cm), dan disebut sumbi atau lilidah yang dipasang tepat pada tengah permukaan atau diatas lubang. Disamping itu dilakukan pelubangan lebih kurang 10 cm, untuk mengatur getaran volume udara yang diatur oleh telapak tangan kiri. Di ujung pangkal muka celempung terbentang 2 kerat bambu (5×1 cm) untuk alat penegang senar, dinamakan tumpangsari atau inang.
Celempungan dibunyikan dengan mempergunakan alat pemukul yang disebut tarengteng. Celempungan juga dilengkapi dengan 2 buah kacapi (kacapi indung dan kacapi rincik), goong tiup dari seruas bambu atau goong buyung. Agar lebih menarik lagi diiringi suara sinden. Lagu-lagunya antara lain: “Angle”, “Banjaran”, “Cangkurileung”, “Dayung Sampan”, “Eceng Gondok”, “Gendu”, “Hayam Ngupuk”, dan sebagainya. Sekarang musik bambu ini jarang didapat sebab kalah oleh gamelan. Hanya di daerah-daerah tertentu saja masih terdapat celempungan, terutama di desa-desa.
* Ensiklopedi Sunda, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar